nelayan kerang Tanjungbalai berunjuk rasa ke gedung Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tanjungbalai, Rabu (4/4). Mereka menutut,
agar pemerintah mengambil sikap atas penancangan laut, atau batas zona penangkapan
yang dilakukan kelompok nelayan gurita warga silau laut Kab.Asahan yang
sangat merugikan nelayan kerang.
Richie/TASLABNEWS.COM
Ratusan nelayan kerang Tanjungbalai berunjuk rasa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tanjungbalai
|
menuntut agar pemerintah mengkaji ulang Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 71 Tahun 2016 karena tidak sesuai dengan kondisi perairan selat Malaka
pantai timur sumatera.
Menurut
mereka pemasangan tiang pancang dengan maksud sebagai batas zona penangkapan
dinilai sangat merugikan ribuan warga Tanjungbalai yang bekerja sebagai nelayan
kerang.
Dimana
terhadap pengkavlingan di laut mengakibatkan suasana tidak kondusif.
Bahkan
sempat terjadi peristiwa pelempar bom molotov terhadap nelayan kerang yang
mengakibatkan ABK mengalami luka bakar yang cukup parah. Nelayan mengaku tidak
mengetahui pelakunya, namun mereka mereka merasa suasana mencari nafkah di laut
saat ini tidak lagi nyaman dan aman.
Selain
itu, alat tangkap gurita milik nelayan warga Silo Laut dibiarkan berbulan-bulan
bahkan tahunan berada di dalam laut sehingga membuat nelayan kerang warga
Tanjungbalai tidak bisa berusaha
“Mereka
mendirikan tiang dengan jarak antar pancang dua ratus meter hingga empat mil ke
laut, dan kami tidak diperbolehkan mencari kerang di sana, dan kalau begini
keadannya, ribuan keluarga nelayan akan kelaparan karena tidak makan,”
ujar orator nelayan, Syafaruddin Harahap
Menurut
Syafaruddin pengkavlingan ini dipicu oleh Permen Kelautan dan Perikanan No 71
Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan.
Dalam Pasal 26 (1) katanya, penggaruk berkapal (boat dredges) merupakan alat
tangkap kerang yang boleh dioperasikan pada namun terbatas pada jalur
penangkapan di zona 1B yakni dua sampai empat mil laut diukur dari surut
terendah.
Sesuai
dengan karakteristik laut di Selat Malaka kata Syafaruddin Harahap,kerang hanya
ada di zona 1A (0-2 mil). Kalaupun ada di zona 1B, jumlahnya sangat sedikit dan
sangat tidak mencukupi untuk dibawa pulang ke rumah.
Richie/TASLABNEWS.COM
Ratusan nelayan kerang Tanjungbalai berunjuk rasa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tanjungbalai
|
Menurutnya,
gurita, kepiting, dan kerang, adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan
habitatnya dan hanya ada di zona 1A. Kalau mereka katanya tidak diperbolehkan
melaut di sana,
tentu akan berdampak luas terhadap nelayan kerang terancam menjadi pengangguran
dan kelaparan.
“Agar
tidak menjadi polemik berkepanjangan dan mencegah konflik antarsesama nelayan,
maka pemerintah diminta untuk memberikan kepastian hukum sebagai bentuk keadilan
terhadap kelangsungan hidup nelayan kerang,”tegas Syafaruddin.
Pantauan
wartawan setelah berorasi selama tiga puluh menit para nelayan di
terima di ruang sidang oleh anggota DPRD bersama instansi terkait
untuk berdialog.Dalam rapat dengar pendapat tersebut berbagai tanggapan
muncul baik dari DPRD maupun institusi terkait seperti PSDKP, Polair dan
Syahbandar Perikanan yang intinya masalah tersebut hanya bisa diselesaikan
dengan melakukan revisi peraturan atau menerapkan kearifan lokal.
Terpisah
Kepala Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, Wisnu mengaku sudah memberikan jalan
keluar buat nelayan kerang. Saat ini katanya, mereka tidak pernah melarang
ataupun menangkap para nelayan meski berlayar tanpa dokumen resmi dan
beroperasi di zona yang bukan wilayahnya.
Hal itu
menurutnya solusi yang tepat, demi menghormati kearifan lokal dan kondisi sosio
kultur yang ada. Dia menegaskan hal itu bukan pembiaran atas pelanggaran hukum,
namun lebih pada pertimbangan kemanusiaan.
Terkait
adanya pemancangan di laut, Wisnu menegaskan tidak setuju karena melanggar
aturan yang ada. Menurutnya, tidak boleh seorangpun warga negara memancang
laut, kecuali oleh negara. (Ric/syaf)