Ramadhan |
“Perhitungan itu menggunakan metode ijtima dan konjungsi,” ungkap Tim Pakar Hisab dan Rukyat Sumatera Selatan (Sumsel), H Teguh Sobri menjelaskan waktu ijtima pukul 18.48 WIB pada 15 Mei. Sesuai data hisab rukyat Kementerian Agama (Kemenag) 2018. “Jadi insya Allah puasa Ramadan pada tanggal 17 Mei,” ujarnya seperti dilansir Sumatera Express (Grup Jawa Pos Group).
Dia beralasan bulan Syakban berlangsung 30 hari mulai 17 April 2018. Sebab saat rukyatul kemarin, hilal belum terlihat. Sehingga di-istikmalkan (disempurnakan).
Kemungkinan, kata dia, Ramadan berlangsung selama 29 hari. Karena pada waktu ijtima 1 Syawal, 14 Juni, diperkirakan hilal sudah tinggi.
Data ijtima Kemenang, 1 Syawal masuk 15 Juni 2018. Saat itu ketinggian hilal sudah 6 derajat 4 menit sampai 7 derajat 34 menit.
“Jadi mudah-mudahan nanti perayaan Idulfitri seluruh umat muslim bisa serempak,” jelasnya. Walaupun demikian, untuk kepastian Ramadan 1439 H tetap menunggu hasil rukyatul hilal di lapangan nanti dan penetapan oleh Kemenag RI.
Anggota tim ahli Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumsel, Drs Sunaryo MHI, menjelaskan dalam menghitung rukyatul hilal, tim melihat berapa ketinggian hilal dan azimut (sudut putar)-nya berapa. Dari titik barat ke utara atau dari barat ke selatan. “Biasanya kita lihat di tanggal akhir, misalnya 29 Syakban nanti, atau pada 15 Mei. Dari situ, kita akan hitung ijtima-nya,” tuturnya.
Dikatakan, sebelum menghitung hilal memang harus tahu dulu ijtima atau konjungsi jelang Ramadan 1439 H. Jika pada 15 Mei 2018, konjungsi terjadi sesudah Magrib, Ramadan akan jatuh pada 17 Mei 2018. “Perhitungan ijtima diperlukan juga menghitung situasi hilal. Kalau ketinggian hilal masih di bawah wukuf minus nol derajat, berarti hilal tidak mungkin terlihat,” katanya.
Di data Kemenag kan seperti itu. “Ketika dilakukan ijtima 15 Mei, tinggi hilal minus 1 derajat 36 menit sampai minus 0 derajat 2 menit, masih di bawah wukuf, artinya belum masuk 1 Ramadan pada 16 Mei. Sehingga Ramadan ditetapkan 17 Mei,” tuturnya.
Sunaryo menambahkan hingga saat ini, Kemenag masih melihat hilal dengan rukyatul hilal, meski sudah dilakukan ijtima dan konjungsi. “Pemerintah masih mengayomi orang-orang yang melihat hilal dan semua golongan,” kata Dosen UIN Raden Fatah ini.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi Sumsel, HM Alfajri Zabidi melalui Kabid Urais dan Pembinaan Syariah, Drs Pultoro Setyono Hendrik, mengatakan, pada awalnya, ada dua metode yang digunakan dalam penentuan bulan. Pertama metode rukyat dan kedua metode hisab.
Metode rukyat, kata dia, proses melihat hilal dengan cara langsung, baik menggunakan alat bantu seperti teleskop, teropong, dan lainnya maupun dengan mata telanjang. Sementara metode hisab merupakan perhitungan pergerakan posisi hilal di akhir bulan untuk menentukan awal bulan. Namun, seiring perkembangannya kedua metode pergantian bulan ini digabungkan.
“Perhitungan hisab dikuatkan dengan rukyatul hilal. Jadi tak bisa hanya dengan penghitungan, harus juga dilihat dengan mata,” ujarnya didampingi Pengolah Hisab Rukyah, Wendi Herwanto SAg, kemarin. Diakuinya, kriteria pergantian bulan hijriah, sambungnya, ada beberapa kategori. Ini sesuai kesepakatan Menteri Agama Negara Mabims (Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, Singapura).
Di antaranya, ketinggian hilal minimal dua derajat di atas ufuk. Umur Hilal minimal 8 jam dihitung saat Ijtima (posisi matahari dan bulan segaris). Jika kedua kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka bulan Syakban akan digenapkan menjadi 30 hari. “Proses rukyat sendiri dilakukan dari titik tertinggi di suatu daerah. Untuk Palembang sendiri titik tertingginya ada di Hotel Aryaduta. Setiap tahun, kami melakukan rukyat di sana,” katanya.
Untuk perhitungan, diakui Wendi, sangat sulit dilakukan dan hanya dikuasai orang tertentu yang mempelajari ilmu falak (astronomi). Perhitungannya dilakukan dengan melihat data matahari dan bulan dari buku ephemericas. Berdasarkan data perhitungan, tanggal 29 Syakban Hijriah, tahun ini jatuh pada 15 Mei Masehi sehingga proses hisab dan rukyat dimulai saat itu.
Namun, walaupun terdapat dua metode penghitungan, penetapan awal Ramadan tetap berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis. Dasar yang digunakan QS Yunus ayat 5 yang artinya, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…”
Dipertegas dengan hadis Bukhori Muslim yang artinya, “Berpuasalah kamu jika melihat hilal. Berbukalah kamu jika melihat hilal. Jika tidak terlihat atau terhitung, maka sempurnakan bulan Syakban.” “Metode hisab digunakan untuk menghitung kemungkinan wujud hilal dan posisinya. Kemudian keberadaan hilal diperkuat dengan metode rukyat. Jika dalam proses tersebut hilal tidak terlihat, sesuai hadis bulan Syakban digenapkan jadi 30 hari,” pungkasnya. (syaf/int)