TAPUT– Petaka akibat rabies menimpa keluarga Viktor Sitompul (55). Anaknya, Ramses Sitompul (13), meninggal dunia akibat digigit anjing rabies. Bahkan, sebelum meninggal dunia, korban yang masih pelajar ini sempat menggigit ayahnya lalu mengejar ibu dan abangnya.
Tak hanya keluarga itu, warga Pagaran Pisang, Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara (Taput) yang merupakan tempat tinggal korban, juga mendapatkan perawatan medis karena diduga turut tertular virus mematikan itu.
Kepala Desa Pagaran Pisang Robin Tua Sitompul saat dihubungi menceritakan bahwa kejadian memilukan ini terjadi pada Minggu (12/3) sekira pukul 11.00 WIB.
“Dalam keadaan demam tinggi, anaknya menggigit tangan kanan bapaknya. Usai menggigit bapaknya, Ramses juga sempat berlari mengejar ibunya, Ratna Hutagalung dan kedua abangnya. Beruntung mereka bisa menyelamatkan diri,” kata Robin melalui telepon selularnya, Rabu (15/3).
Masih kata Robin, usai menggigit ayahnya, Ramses pun meregang nyawa pada Senin (13/3) subuh.
Dikatakan, sesuai cerita warga, sebelumnya, sekitar Oktober 2016, Ramses yang duduk di bangku kelas 1 SMP di desa itu, pernah digigit anjing rabies.
“Waktu itu kaki sebelah kanan Ramses digigit anjing milik warga sekitar,” ungkapnya tanpa menyebut si pemilik anjing dan bagaimana keberadaan anjing tersebut.
Dan, pada Sabtu (12/3), Ramses terlihat berubah dari kebiasaannya. Warga melihat Ramses menyendiri duduk di atas batu di jalan desa seperti orang bingung. Setelah itu, Ramses mulai demam tinggi pada malam harinya, bahkan menggigit bapanya dan akhirnya meregang nyawa dan dimakamkan esok harinya, pada Selasa (14/3).
Setelah kejadian ini, Tumbur Sitompul, tetangga korban, memberitahukan bahwa dirinya juga pernah digigit anjing di desa mereka.
“Selain Ramses, ternyata masih ada korban digigit anjing, yakni Tumbur Sitompul,” ujar Robin sembari menerangkan, untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, mereka kemudian dibawa ke RSU Tarutung untuk disuntik anti rabies.
Dikatakan, selain Viktor Sitompul dan Tumbur Sitompul, ada 6 orang lain yang ikut dibawa berobat dengan alasan mereka masih tinggal serumah.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Taput Jandri Nababan mengatakan kasus ini merupakan bukti lemahnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan. Dia menyayangkan bahwa masyarakat masih mempercayai hal-hal di luar medis terkait penanganan dan pengobatan.
“Ini juga merupakan koreksi bagi semua petugas di kecamatan, untuk melaksanakan cek dan recek terhadap semua kasus kesehatan. Kita sesalkan masih ada kasus seperti ini. Dikatakan, saat ini pasien sudah ditangani di RSU Tarutung dan kita gratiskan segala biaya pengobatan,” sebutnya.
Ependi Saragih Garingging tersentak dari tidur. Rabu (15/3) sekira pukul 01.00 WIB. Suara mirip lolongan anjing memecah keheningan di tempatnya tinggal di Dusun Rambung, Kelurahan Sondi Raya, Simalungun. Padahal sejak dua bulan terakhir, mereka sudah tidak memelihara hewan peliharaan.
Karena penasaran, Ependi bangkit. Ia memeriksa ruang demi ruang di rumah. Ternyata suara yang berulang-ulang itu berasal dari kamar bapatua (abang dari ayah, red)-nya. Dan yang membuatnya terperangah, ternyata yang melolong seperti anjing itu adalah bapatuanya Sudiman Saragih Garingging (70).
Perasaan panik, takut dan khawatir langsung bercampur aduk. Ependi tak tahu harus berkata apa lagi. Ia langsung teringat peristiwa dua bulan sebelumnya, saat Sudiman yang sudah dianggapnya sebagai orangtua sendiri dan tempatnya menumpang selama ini, digigit anjing peliharaannya.
Tak hanya melolong, kondisi Sudiman saat itu tak seperti biasanya. Ia berbicara sendiri dan sesekali mengamuk, menyenggol barang-barang yang ada di sekitarnya.
Karena kondisi itu pula, Ependi langsung keluar dari rumah dan menemui kerabatnya yang tinggal tak jauh dari kediaman Sudiman yang hingga kini diketahui masih berstatus lajang.
Ditemui Metro Siantar di sekitar lokasi, kemarin siang, Ependi mengakui bahwa tangan kiri Sudiman pernah digigit anjing peliharaannya pada akhir bulan Januari 2017 silam. “Dulu kan kami memelihara anjiing. Kebetulan aku memang tinggal di sini bersama Bapatua,” ujarnya membuka pembicaraan.
Dia melanjutkan, setelah digigit Sudiman langsung menangkap hewan peliharaannya tersebut. Dibantu keluarga yang lain, anjing itu kemudian dibunuh.
“Setelah itu kami sudah menganjurkan agar Bapatua segera berobat dan disuntik rabies. Tapi beliau tidak mendengarnya,” jelas Ependi.
Setelah itu, memang tidak ada perubahan drastis terhadap Sudiman. Hari-harinya berjalan seperti biasa. Bahkan keluarganya yang lain sempat senang karena tidak ada gejala rabies yang diderita Sudiman.
Namun pada Rabu dinihari, keanehan itu terjadi. Sudiman mengerang kesakitan lalu melolong, berbicara sendiri dan mengamuk. Selain itu, Sudiman terkesan takut dengan air. Minuman serta makanan yang diberikan juga tidak disentuhnya. Bahkan ia tidak emenyukai cahaya dan lebih memilih lokasi yang gelap.
Ependi yang mengetahui hal itu langsung memanggil keluarga dan tetangganya yang lain di kampung itu. Mereka pun berembuk untuk mengambil tindakan terhadap Sudiman. Sebab menurut keluarga, apa yang dialami Sudiman itu merupakan penyakit rabies stadium akhir dan tak akan tertolong lagi jika diberi pengobatan saat ini. Mereka juga tidak mau rabies itu tertularkan ke warga sekitar. “Lalu ada kesimpulan agar Bapatua diisolasi di kediamannya sendiri. Makanya seluruh pintu dan jendela dikunci, agar Bapatua tak bisa keluar,” jelasnya.
Pantauan wartawan di lokasi, kediaman Sudiman terlihat tertutup. Baik pintu dan jendela, tak satupun yang terbuka. Bahkan pada jendela depan dan samping rumah permanen itu, diberi papan tambahan yang dipaku ke dinding. Menurut warga, hal itu dilakukan supaya Sudiman tidak bisa keluar, sekaligus agar cahaya yang masuk ke rumah tidak sebanyak biasanya.
Mendapat informasi adanya warga yang terjangkit rabies, petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun langsung turun ke lokasi untuk melihat keberadaan korban.
Namun karena kondisi Sudiman yang seperti itu, tak satupun warga maupun petugas Dinkes yang berani menemui Sudiman.
“Memang tidak ada yang berani. Jangankan menemui korban, kalau kita mendekati pintu rumah itu saja, korban langsung tahu dan marah-marah dari dalam. Tapi kalau kita menjauh, dia langsung diam,” ujar seorang warga sekitar.
Menurut pria yang enggan namanya disebutkan ini, petugas Dinas Kesehatan yang datang ke lokasi kemudian hanya menitipkan obat penenang kepada keluarga Sudiman.
Hal itu juga dibenarkan Kasi Pencegahan Penanganan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Simalungun, Gimrood Sinaga. Menurut Gimrood, pihaknya menyesalkan adanya tindakan sepele dari korban terhadap gigitan hewan peliharaan itu. Terlebih, setelah kejadian anjing itu langsung dibunuh. “Itu yang kita sesalkan. Seharusnya anjing tersebut dirawat dulu untuk mengetahui apakah hewan itu terkena rabies atau tidak,” katanya.
Sinaga menambahkan, atas adanya temuan kasus rabies yang diderita Sudiman, mereka langsung berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara untuk mencari solusi. Namun sesuai keterangan petugas Dinkes Provinsi Sumut, tak ada artinya kalaupun korban diberi vaksin saat ini.
“Makanya kita hanya bisa memberikan obat penenang. Kalaupun divaksin, tak berguna lagi karena sudah stadium akhir.”
Ia juga berpesan kepada keluarga Sudiman agar jangan sampai terkena air liur dan cakaran dari korban, karena virus rabies itu bisa menular lewat air liur dan cakaran dari penderita penyakit itu.
Dia mengungkapkan, pada tahun 2016 ada 1.169 kasus rabies di Kabupaten Simalungun. Dari jumlah itu, seluruhnya sudah mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR). “Dari sekian banyak kasus di tahun 2016 itu, tidak ada korban jiwa,” tukasnya. (as/ss/hez/ara/ma/int)