![]() |
| Ok Araya memberi keterangan di pengadilan |
Pantauan wartawan dalam persidangan, OK Arya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penyuapan sebesar Rp8,055 miliar untuk memuluskan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara di Ruang Cakra I Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan memakai baju kemeja putih.
Selain OK Arya, dua terdakwa lain yang didakwa Penuntut Umum (PU) dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Ariawan Agus Triatono yakni mantan Kepala Dinas (Kadis) PUPR Pemkab Batubara, Helman Herdady dan pemilik showroom Ada Jadi Mobil, Sujendi Tarsono alias Ayen juga dimintai keterangannya. Khusus Ayen, didakwa karena menjadi perantara pemberian suap dari para kontraktor.
“Saya tidak pernah meminta, tapi mereka (kontraktor) ada memberikan (uang). Itu pun seingat saya hanya Maringan,” ujar OK Arya di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Wahyu Prasetyo Wibowo. OK Arya mengatakan, dirinya mendapat uang dari Maringan beberapa kali dengan jumlah nominal mencapai miliaran rupiah.
“Ada di tahun 2016 kalau nggak salah Rp 1 miliar dan tahun 2017 sebanyak Rp3 miliar lebih,” katanya. Saat ditanya majelis hakim, apakah uang tersebut diterima langsung oleh terdakwa atau melalui pihak tententu, OK Arya menyebut sebagian uang ada yang diberikan kepada dirinya langsung dan ada juga melalui Ayen.
“Kenapa harus lewat Ayen? Ada hubungan apa anda dengan Ayen? Kenapa begitu percaya sama Ayen?,” tanya hakim. OK Arya menjelaskan, bahwa ia telah lama mengenal pemilik showroom Ada Jadi Mobil itu. Sehingga OK Arya yakin uang yang dititipkan tersebut aman bersama Ayen.
Mantan orang nomor satu di Pemkab Batubara itu mengaku tidak pernah sama sekali mematok persenan kepada para kontraktor yang mendapat proyek. Jawaban itu diberikan OK Arya saat majelis hakim menanyakan soal fee sebesar 10 persen dari anggaran setiap proyek yang akan dikerjakan kontraktor.
“Saya tidak pernah ada patok persenan dari kontraktor yang dapat proyek. Karena berapa pun yang ada, saya terima,” jawabnya. Selain itu, OK Arya juga mengaku tidak pernah melakukan intervensi terkait penunjukan kontraktor yang mengerjakan proyek.
“Tidak pernah saya mengintervensi yang mulia. Cuma setiap tahun kami selalu melakukan evaluasi mana kontraktor yang kerjanya bagus dan tidak ada catatan temuan dari BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan),” ucap OK Arya.
Menurut OK Arya, evaluasi dilakukan agar permasalahan yang terjadi pada tahun anggaran sebelumnya tidak terulang kembali.
Hakim kembali bertanya apakah OK Arya pernah memberikan rekomendasi kepada Kadis PUPR, ULP atau pun Pokja tentang penunjukkan kontraktor, dia sempat terdiam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
“Pernah yang mulia, hanya sekali untuk Dinas PUPR pada proyek tahun 2017. Saya sempat katakan pak Situmorang (Maringan) bagus kerjanya membangun sejumlah jembatan di Batubara. Masyarakat pun banyak yang berterima kasih, sehingga saya bilang ke pak Helman (Kadis PUPR) kalau ada jembatan kita prioritaskan pak Situmorang,” tandasnya.
Dalam dakwaan PU KPK, Ariawan Agus Triatono, OK Arya menerima hadiah atau janji uang sebesar Rp 8,055 miliar melalui Helman Herdady dan Ayen yang berasal dari para kontraktor yakni Maringan Situmorang, Mangapul Butar-Butar alias Apul, Sucipto alias Abun, Parlindungan Hutagalung alias Parlin dan Syaiful Azhar.
Sedangkan terdakwa Helman menerima uang sebesar Rp80 juta dari Syaiful Azhar. Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
“Sementara terdakwa Ayen menerima hadiah atau janji berupa uang tunai sebesar Rp8,355 miliar yang bersumber dari para kontraktor untuk diberikan kepada OK Arya,” tandas Ariawan di Ruang Cakra I Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (5/2) siang.
Dari uang suap itu, Ayen mendapat keuntungan Rp300 juta, sisanya diberikan kepada OK Arya. Ariawan menyebut, pada tahun 2016, OK Arya melalui Ayen menawarkan kepada Maringan Situmorang untuk mengerjakan tiga proyek rehabilitasi jembatan Sei Tanjung, Gambus Laut I dan Gambus Laut II.
“Atas permintaan OK Arya, Ayen juga menawarkan untuk proyek tahun 2017 meskipun belum ada usulan kegiatan proyek tahun tersebut dengan syarat memberikan fee 10% dari nilai kontrak,” sebutnya.
Sebelum usulan anggaran disahkan, OK Arya ternyata telah membuat daftar nama calon kontraktor yang akan mengerjakan proyek tahun 2017. Nama para kontraktor itu diserahkan OK Arya ke Ayen dan menyuruh disampaikan ke Maringan agar mengkoordinir penyerahan fee.
Maringan Situmorang lalu bersedia dan meminta proyek pembangunan jembatan Sei Magung Kecamatan Medang Deras dengan pagu anggaran Rp12,3 miliar lebih. Serta pembangunan jembatan Sentang di perbatasan Kelurahan Labuhan Ruku sebesar Rp32,6 miliar yang dianggarkan Dinas PUPR Tahun Anggaran (TA) 2017.
“Ketiga terdakwa dan Maringan mengadakan pertemuan. Pertemuan itu untuk mengatur pembagian proyek, pemberian kewajiban fee serta OK Arya mengatur proyek tersebut agar pemenangnya yang telah ditentukan,” ucap Ariawan.
Ariawan menjelaskan, pada proyek tahun 2016, OK Arya menerima fee Rp 1,5 miliar dengan rincian, Maringan Situmorang memberikan Rp 1 miliar untuk kompensasi pengaturan rehabilitasi jembatan Gambus Laut I dan Gambus II serta jembatan Sei Tanjung. Sementara Parlindungan Hutagalung menyerahkan Rp 500 juta untuk proyek pembangunan rigid.
Kemudian, pada tahun 2017, OK Arya menerima fee sebesar Rp 6,555 miliar yang dititip melalui Ayen. Uang tersebut berasal dari Maringan Situmorang Rp 3,8 miliar untuk proyek Jembatan Sei Magung dan Sentan. Mangapul Butarbutar memberikan Rp 1,7 miliar untuk proyek lanjutan peningkatan ruas jalan simpang empat timbangan dan jalan lima puluh.
“Selanjutnya, Parlindungan Hutagalung sebesar Rp 500 juta proyek lanjutan peningkatan ruas jalan Kwala Sikasim, Sucipto memberikan Rp 235 juta untuk proyek peningkatan di beberapa ruas jalan Kabupaten Batubara. Terakhir, Syaiful Azhar memberikan Rp 320 juta untuk pengerjaan proyek peningkatan jalan Labuhan Ruku menuju Masjid Lama Kecamatan Talawi,” jelasnya.
Perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (syaf/mjc/int)


























