TASLABNEWS.COM, ASAHAN- Haposan Simanjuntak (60) dan istrinya Hita Panjaitan (55) tak dapat melawan tatkala petugas Satpol PP masuk ke rumah mereka mengungsikan isi perabotan ke luar. Pasangan suami istri ini adalah penyandang disabilitas. Suami mengalami kebutaan dan tuli sedang sang istri lumpuh tak bisa berjalan.
Warga yang rumahnya dihancurkan tampak menangis. |
Jangankan untuk melawan, keluar dari rumah saja keduanya harus dipapah petugas dibantu para tetangga. Saat petugas Satpol PP mengangkat satu per satu perabotan milik mereka, keduanya hanya bisa berteriak menangis histeris dari dalam rumah sebelum petugas memapahnya keluar.
“Agoi amang, idia do hami tinggal pak, tolong jo hami” (kasihanilah kami, mau dimana kami tinggal pak, tolong lah) kata Haposan. Pasutri ini hanya berteriak dan menangis dari dalam rumah bersama seorang anak perempuan mereka.
Namun tangisan itu tak membuat petugas berhenti untuk memindahkan satu persatu isi rumah Haposan yang menurutnya sudah mereka tinggali turun temurun sejak tahun 1954-an itu, rumah sepeninggalan keluarganya.
(baca berita terkait: https://www.taslabnews.com/2017/08/jerit-tangis-warga-terjadi-saat-13.html)
Beberapa petugas Satpol PP wanita yang ikut menenangkan keluarga ini juga tampak kewalahan membujuk br Panjaitan istri dari Haposan keluar dari rumah. Bahkan setelah berhasil digotong keluar rumah menggunakan kursi roda, istri Haposan terlihat kembali mengesot di tanah menuju rumahnya yang akan dihancurkan itu.
“Sudah lah buk, di sini saja lebih aman. Nanti ibu makin sakit, kasihan sama kondisi badannya,” pujuk salah seorang petugas Satpol PP berjilbab hitam menahan istri Haposan yang mau kembali ke dalam rumahnya itu.
Menurut br Sinaga, salah seorang tetangga mereka, pasangan suami istri punya tiga orang anak dan anaknya saat ini berada di Jakarta bekerja di salah satu pabrik. “Anaknya itu yang membiayai hidup mamak bapaknya,” ujarnya.
Sementara itu, Obertua Nainggolan menilai tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab Asahan tersebut disebutnya tindakan arogan. Karena menurutnya rencana penggusuran tanpa pemberitahuan dan rencana mediasi tidak digubris oleh pemerintah dengan kesepakatan pembayaran uang ganti rugi.
“Padahal rumah ini sudah ditempati turun temurun sejak tahun 1954. Mereka ini bukan orang sekolah, jadi tak mengerti urusan administrasi surat menyurat. Pernahpun mereka mendaftarkan tanahnya, tapi tak ditanggapi. Seharusnya pemerintah kasi solusi, bukan tindakan arogan seperti ini,” keluh Nainggolan.
Meski sempat mendapatkan penolakan, rencana eksekusi 13 rumah di desa Rawang Pasar VI tetap dilanjutkan. Pemkab Asahan berpedoman sesuai dengan surat tanah dari BPN tahun 1959 lahan seluas 5.214 meter persegi itu milik pemerintah dan akan segera dibangun Pasar Rakyat Tradisional oleh dinas Perdagangan dan Perindustrian. (syaf/int)