TASLABNEWS, ASAHAN-Bupati Asahan Taufik Zainal Abidin didaulat sebagai salah satu narasumber pada Diskusi Panel Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah. Kegiatan berlangsung di Aula Gedung Zulfirman Siregar Universitas Asahan (UNA) Selasa (29/7/2025).
Dalam rangka pembahasan Pemisahan pemilu nasional dan lokal, arah baru demokrasi dan tantanganya bagi politik daerah.

Turut hadir dalam diskusi tersebut Forum koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Asahan, Bawaslu Kabupaten Asahan, Rektor Universitas Asahan, Kepala Yayasan Universitas Asahan, Pengamat Politik, beberapa partai politik di Kabupaten Asahan, beberapa Organisasi Perangkat Daerah Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Asahan, Camat, Lurah Se-Kecamatan Kisaran Barat dan Timur, Mahasiswa Asahan dan tamu undangan lainnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan kepemiluan kerap menuai sorotan publik. Seperti putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah (lokal). Sejumlah kalangan angkat bicara menyorot putusan yang diterbitkan MK belakangan terakhir
Salah satu narasumber Rektor Universitas Asahan (UNA) prof dr mangaraja manurung SH MH,menjelaskan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025) mengatakan, mulai tahun 2029, penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu Nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu Daerah atau Lokal).
Itu berarti, pemilu serentak yang digelar pada tahun 2024 lalu dan baru pertama kali digelar yaitu dengan ”Pemilu 5 (lima) kotak”, akan berubah lagi mulai tahun 2029, dan dibedakan menjadi Pemilihan Nasional dan Pemilihan Daerah/Lokal.
MK berdalil, penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Yang menarik, MK memutuskan, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 5 bulan. Artinya, bila pemilu nasional dilaksanakan tahun 2029, maka pemilu daerah/lokal digelar paling lambat pada tahun 2031.
Kondisi ini tentu memicu perdebatan terkait kekosongan penyelenggara pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) tahun 2029 hingga pelaksanaan pemilu daerah 2031. Apakah jabatan bupati/walikota, dan DPRD diperpanjang? Hal ini memicu perdebatan.
Dalam kesempatan tersebut, Kerua DPRD kabupaten Asahan Evi Irwansyah pene, memaparkan perkembangan yang terjadi di DPR .
Menurutnya, MK telah melampaui kewenangan yang diberikan. ”Untuk kesekian kalinya MK melampaui kewenangan yang diberikan, karena MK sudah tidak menguji norma, tapi sudah membuat norma itu sendiri,” ujarnya.
Namun demikian, katanya, DPR menghormati keputusan MK, karena keputusan MK final dan mengikat.
“Kita tentu akan merespons sesuai dengan ketentuan dan mekanisme yang ada. Oleh karena itu, rancangan undang undang pemilu yang sudah masuk Prolegnas prioritas menjadi begitu penting. Biarkan perdebatan ini terjadi, sehingga kita mendapatkan pandangan dari berbagai pihak, sehingga harapannya, nantinya undang undang pemilu yang baru lebih merespon pandangan-pandangan masyarakat,” paparnya.
Terkait polemik apakah jabatan bupati/wali kota dan DPRD diperpanjang, seperti ditanyakan Bupati Asahan Taufik Zainal Abidin mengatakan bahwa jabatan kepala daerah atau DPRD sesuai dengan putusan MK adalah lima tahun. Bila diperpanjang, itu berarti akan menyalahi aturan.
“Setelah 2029, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) akan diisi penjabat kepala daerah. Sedangkan DPRD akan ada kekosongan. Kekosongan DPRD ini tidak terlalu masalah bagi daerah karena dulu banyak DOB (Daerah Otonomi Baru) bertahun-tahun tidak memiliki DPRD dan tidak ada masalah karena masih ada Kemendagri untuk pengawasan,” terang Bupati.
Meski demikian, dinamika terkait masa transisi ini masih menjadi perdebatan apakah masa jabatan kepala daerah dan DPRD diperpanjang atau malah menyerahkan kepemimpinan di daerah kepada penjabat selama hampir dua setengah tahun.
Menurut pengamat politik yang juga sebagai narasumber Dadang Darmawan Pasaribu, pilihan paling logis adalah memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD. Salah satu alasannya untuk memastikan kontuinitas pembangunan daerah.
Ia juga menyebut penunjukan Pj Kepala Daerah, selain bermasalah juga menganggu jalannya pemerintahan. “Semua pejabat eselon yang harus disiapkan untuk mengisi jabatan kepala daerah itu jelas menganggu pemerintahan. Masa transisi ini harus diisi oleh kepala daerah yang memiliki legitimasi langsung dari rakyat, bukan penjabat sementara. Saya rasa semua asosiasi pemda dan DPRD ini secara resmi perlu menyurati DPR RI Komisi II,” sarannya.
“Kita perlu memastikan tidak ada kekosongan pemerintahan. Perpanjangan masa jabatan adalah solusi konstitusional yang efektif,” ujarnya. (Edi/Syaf)